![]() |
| Illustrasi Ruang Kelas Sekolah Rakyat |
LANGGAMPOS.NET - SUMENEP - Puluhan siswa Sekolah Rakyat Terintegrasi (SRT) 49 Sumenep di Kecamatan Batuan memilih mundur meski sekolah gratis tersebut belum genap sebulan beroperasi.
Pengunduran diri massal dari sekolah berasrama yang baru diresmikan pada 30 September 2025 ini menyoroti sejumlah persoalan serius.
Mulai dari ketidaksiapan siswa tinggal di asrama hingga minimnya fasilitas belajar yang menjadi penunjang utama pendidikan di Kabupaten Sumenep.
Kabar mundurnya para siswa ini menjadi pukulan telak bagi program pendidikan yang digadang-gadang menjadi solusi bagi anak-anak kurang mampu.
Kabar mundurnya para siswa ini menjadi pukulan telak bagi program pendidikan yang digadang-gadang menjadi solusi bagi anak-anak kurang mampu.
Dari total 96 siswa yang terdaftar saat pembukaan, kini jumlahnya menyusut drastis. Tercatat hanya 75 siswa yang masih bertahan mengikuti kegiatan belajar mengajar, sementara 21 siswa lainnya telah resmi mengundurkan diri. Mayoritas dari mereka berasal dari jenjang Sekolah Dasar (SD).
Gelombang pengunduran diri ini dibenarkan oleh pihak manajemen sekolah. Wakil Kepala Humas SRT 49, Meliana Risdiyanti, saat dikonfirmasi pada Sabtu (18/10/2025), mengakui adanya fenomena tersebut.
Gelombang pengunduran diri ini dibenarkan oleh pihak manajemen sekolah. Wakil Kepala Humas SRT 49, Meliana Risdiyanti, saat dikonfirmasi pada Sabtu (18/10/2025), mengakui adanya fenomena tersebut.
Ia tak menampik bahwa faktor psikologis siswa menjadi kendala utama yang dihadapi sekolah yang mengusung konsep asrama terintegrasi ini.
"Mayoritas yang mengundurkan diri memang dari tingkat SD, karena mereka masih kecil dan belum bisa jauh dari keluarga," kata Meliana.
"Mayoritas yang mengundurkan diri memang dari tingkat SD, karena mereka masih kecil dan belum bisa jauh dari keluarga," kata Meliana.
Konsep sekolah berasrama, menurutnya, menjadi tantangan terbesar, baik bagi siswa maupun orang tua.
Banyak siswa usia dini yang belum siap secara mental untuk hidup terpisah dari keluarga dalam waktu yang lama.
Di sisi lain, keraguan juga datang dari sejumlah orang tua wali murid. Sistem pendidikan yang diterapkan di SRT 49 Sumenep dinilai terlalu padat.
Di sisi lain, keraguan juga datang dari sejumlah orang tua wali murid. Sistem pendidikan yang diterapkan di SRT 49 Sumenep dinilai terlalu padat.
Jadwal belajar yang dimulai sejak pagi hingga malam hari dianggap membebani anak-anak mereka.
"Konsep belajar di sini padat, mulai pagi sampai malam. Ada orang tua yang merasa kasihan anaknya kelelahan," ungkap Meliana.
"Konsep belajar di sini padat, mulai pagi sampai malam. Ada orang tua yang merasa kasihan anaknya kelelahan," ungkap Meliana.
Ia menambahkan bahwa pihak sekolah memahami sepenuhnya kekhawatiran tersebut dan tengah berupaya mencari formula penyesuaian kurikulum yang lebih ramah anak.
"Kami pahami hal itu, makanya sedang kami upayakan penyesuaian," terangnya.
Selain faktor kesiapan mental dan kurikulum, alasan administratif juga menjadi penyebab beberapa siswa terpaksa mundur. Sebagian dari mereka diketahui memiliki usia yang telah melampaui batas maksimal yang ditetapkan, yakni 19 tahun, sehingga tidak dapat melanjutkan proses pendidikan di sekolah tersebut.
Namun, persoalan di SRT 49 Sumenep ternyata lebih kompleks. Di tengah upaya mempertahankan siswa yang tersisa dengan metode pembelajaran yang lebih dinamis, masalah krusial lain muncul ke permukaan: minimnya sarana dan prasarana belajar.
Selain faktor kesiapan mental dan kurikulum, alasan administratif juga menjadi penyebab beberapa siswa terpaksa mundur. Sebagian dari mereka diketahui memiliki usia yang telah melampaui batas maksimal yang ditetapkan, yakni 19 tahun, sehingga tidak dapat melanjutkan proses pendidikan di sekolah tersebut.
Namun, persoalan di SRT 49 Sumenep ternyata lebih kompleks. Di tengah upaya mempertahankan siswa yang tersisa dengan metode pembelajaran yang lebih dinamis, masalah krusial lain muncul ke permukaan: minimnya sarana dan prasarana belajar.
Hingga pertengahan Oktober, sekolah masih kekurangan berbagai perlengkapan vital.
"Buku pelajaran dan alat tulis masih belum lengkap, beberapa kelas juga belum memiliki LCD atau proyektor," ungkap Meliana.
"Buku pelajaran dan alat tulis masih belum lengkap, beberapa kelas juga belum memiliki LCD atau proyektor," ungkap Meliana.
Kondisi ini diperparah dengan belum tersedianya seragam sekolah. Sejak pertama kali masuk, para siswa hanya dibekali dua stel pakaian santai untuk kegiatan sehari-hari.
"Untuk seragam memang belum diterima, tapi pengukurannya sudah dilakukan," katanya.
Keterbatasan fasilitas bahkan memaksa para guru untuk memutar otak. Untuk sekadar mencetak materi atau alat peraga pembelajaran, pihak sekolah harus meminjam unit printer dari kantor Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos P3A) Sumenep.
Meliana menyebut, tanggung jawab pengadaan seluruh fasilitas dan perlengkapan belajar tersebut sebenarnya berada di tangan vendor yang telah ditunjuk.
Keterbatasan fasilitas bahkan memaksa para guru untuk memutar otak. Untuk sekadar mencetak materi atau alat peraga pembelajaran, pihak sekolah harus meminjam unit printer dari kantor Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos P3A) Sumenep.
Meliana menyebut, tanggung jawab pengadaan seluruh fasilitas dan perlengkapan belajar tersebut sebenarnya berada di tangan vendor yang telah ditunjuk.
Namun, hingga kini realisasinya di lapangan masih jauh dari kata memadai. Pihak sekolah hanya bisa berharap agar pemenuhan fasilitas ini dapat segera dikebut.
"Kami berharap paling lambat minggu depan semua kebutuhan dasar siswa bisa terpenuhi," ujarnya penuh harap. "Karena bagaimanapun, kelengkapan sarana belajar sangat penting untuk mendukung kenyamanan anak-anak di asrama."
"Kami berharap paling lambat minggu depan semua kebutuhan dasar siswa bisa terpenuhi," ujarnya penuh harap. "Karena bagaimanapun, kelengkapan sarana belajar sangat penting untuk mendukung kenyamanan anak-anak di asrama."
(*)
%2049%20Sumenep.jpg)