LANGGAMPOST.NET - Sebagian orang kerap bertanya, jika semua sudah ditakdirkan, untuk apa kita berdoa?Pertanyaan ini tampak logis di permukaan, tapi mengandung kesalahan mendasar dalam memahami hubungan antara takdir dan sebab.
Ibnul Qayyim rahimahullah, dalam Ad-Daa’ wa Ad-Dawaa’, menjelaskan bahwa anggapan seperti itu justru menyesatkan. Ia menafikan peran sebab, padahal semua takdir terjadi melalui sebab-sebab yang telah Allah tetapkan. Salah satu sebab terkuat adalah doa.
Takdir Tidak Berdiri Sendiri
Doa bukanlah upaya yang terpisah dari takdir, melainkan bagian darinya. Sama seperti makan menjadi sebab kenyang, bercocok tanam menjadi sebab panen, dan amal menjadi sebab seseorang masuk surga atau neraka, maka doa juga menjadi sebab terkabulnya keinginan.
Jika sesuatu ditakdirkan terjadi karena doa, lalu doa itu tidak dilakukan, maka apa yang ditakdirkan pun tak akan terjadi. Inilah yang sering luput dipahami oleh mereka yang mengira bahwa semua telah tertulis tanpa perlu usaha. Padahal justru usaha, termasuk dalam bentuk doa, adalah bagian dari skenario takdir itu sendiri.
Doa adalah Kekuatan
Umar bin Khattab tidak pernah menganggap jumlah pasukan sebagai faktor utama kemenangan. Ia meyakini bahwa kekuatan sejati datang dari langit melalui doa. Ia berkata, “Yang aku khawatirkan bukanlah pengabulannya, tapi apakah aku sudah benar-benar berdoa.”
Pernyataan ini menegaskan bahwa nilai sebuah doa tidak hanya terletak pada hasil akhirnya, tetapi juga pada prosesnya. Kerendahan hati, kesungguhan, dan kepasrahan kepada Allah menjadi bagian dari keutamaan berdoa.
Sebab yang Paling Manjur
Ibnul Qayyim menyebut doa sebagai sebab paling bermanfaat dan cara tercepat untuk meraih apa yang diinginkan. Ia lebih ampuh daripada sekadar rencana dan strategi manusiawi. Karena itu, menyamakan doa dengan aktivitas tak berguna sama saja seperti menganggap makan dan minum tidak ada manfaatnya.
Kesimpulannya, doa bukan sekadar pelengkap atau cadangan saat usaha mentok. Ia adalah bagian utama dari perjalanan menuju takdir. Bukan sebagai pengganti takdir, tetapi sebagai alat untuk menggerakkannya.
(*)