Iklan

Langgapos Net
Redaksi
6/10/2025, 21:11 WIB
Last Updated 2025-06-10T14:11:00Z
Langgam Tekno

ChatGPT Masih Kalah dari Mahasiswa: Riset Ungkap Kelemahan Esai Buatan AI

ChatGPT Masih Kalah dari Mahasiswa: Riset Ungkap Kelemahan Esai Buatan AI



LANGGAMPOS.NET - Kecanggihan kecerdasan buatan belum mampu menyaingi kedalaman tulisan manusia. Inilah temuan penting dari sebuah studi terbaru yang dilakukan oleh peneliti dari University of East Anglia (UEA), Inggris. Dalam riset yang diterbitkan di jurnal Written Communication, para ahli membandingkan 145 esai mahasiswa dengan 145 esai yang dihasilkan oleh ChatGPT. Hasilnya? Tulisan manusia masih unggul dalam hal keterlibatan dan daya pikir kritis.

Meski esai buatan ChatGPT tampil rapi secara struktur dan nyaris sempurna dalam tata bahasa, esai tersebut dinilai datar dan minim sentuhan manusia. Tidak ada kedalaman personal, refleksi kritis, atau perspektif yang tajam. Hal-hal inilah yang justru membuat tulisan mahasiswa terasa lebih hidup dan meyakinkan.

Kecemasan di Dunia Pendidikan

Profesor Ken Hyland dari School of Education and Lifelong Learning, UEA, menyebutkan bahwa sejak kemunculannya di publik, ChatGPT telah memicu kekhawatiran besar di kalangan pendidik. Banyak guru dan dosen takut bahwa mahasiswa akan menyalahgunakan AI untuk mengerjakan tugas mereka.

“Masalahnya bukan hanya soal kecurangan akademik,” ujar Prof Hyland. “Namun juga soal rusaknya kemampuan literasi dasar dan berpikir kritis yang seharusnya dibangun lewat proses menulis. Lebih parah lagi, sampai saat ini belum ada alat pendeteksi yang benar-benar bisa mengenali tulisan buatan AI secara akurat.”

Untuk menjawab kecemasan tersebut, tim peneliti melakukan analisis mendalam terhadap dua kelompok esai – satu dari mahasiswa sungguhan, dan satu lagi dari ChatGPT.

Tanda Keterlibatan Jadi Pembeda

Salah satu fokus utama studi ini adalah apa yang disebut sebagai engagement markers atau penanda keterlibatan. Ini termasuk pertanyaan retoris, komentar personal, dan ajakan langsung kepada pembaca.

“Esai mahasiswa secara konsisten menampilkan strategi keterlibatan yang kuat,” kata Prof Hyland. “Mereka tidak hanya menyampaikan argumen, tapi juga mengajak pembaca berpikir bersama. Ada tanya jawab, komentar pribadi, dan gaya bahasa yang interaktif.”

Sebaliknya, esai ChatGPT terasa steril. Bahasa memang lancar dan mengikuti kaidah akademik, tapi tidak ada kehangatan atau kedekatan. AI cenderung menghindari pertanyaan, minim opini pribadi, dan lebih fokus pada koherensi alur daripada kekuatan persuasi.

Algoritma Tak Bisa Menggantikan Pemikiran

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ChatGPT, meski canggih, tetap bekerja berdasarkan statistik dan data yang netral. Ia tidak memiliki empati, pengalaman hidup, atau sudut pandang yang terbentuk dari proses berpikir manusia.

Namun para peneliti tidak menolak sepenuhnya kehadiran AI dalam dunia pendidikan. Justru mereka mengajak para guru dan dosen untuk memanfaatkan alat seperti ChatGPT sebagai pendukung belajar, bukan sebagai jalan pintas.

“Kita tidak hanya mengajarkan cara menulis, tapi juga cara berpikir,” ujar Prof Hyland. “Dan berpikir kritis adalah sesuatu yang tak bisa diajarkan oleh algoritma.”

Pentingnya Literasi Kritis di Era AI

Penelitian ini juga menegaskan pentingnya membangun kesadaran etis dan literasi kritis di kalangan pelajar. Di tengah maraknya penggunaan AI, siswa dan mahasiswa perlu memahami batasan teknologi serta menghargai proses belajar yang otentik.

Studi berjudul “Does ChatGPT Write Like a Student? Engagement Markers in Argumentative Essays” ini merupakan kolaborasi antara UEA dan Prof Kevin Jiang dari Jilin University, Tiongkok, dan dipublikasikan pada 30 April 2025.

Dengan hasil yang cukup tegas, studi ini mengingatkan bahwa meski AI mampu meniru bentuk, ia belum bisa menggantikan esensi dari tulisan manusia – yaitu pikiran, perasaan, dan keinginan untuk terhubung dengan pembaca.


(*)
Advertisement
close