Iklan

Redaksi
7/23/2025, 11:57 WIB
Last Updated 2025-07-23T04:57:23Z
Langgam Pendidikan

Data Mencatat Peristiwa KDRT Kekerasan Perempuan dan Anak di Sumenep Cenderung Meningkat

Data Mencatat Peristiwa Kekerasan Perempuan dan Anak di Sumenep Cenderung Meningkat



LANGGAMPOS.NET - SUMENEP - Selama empat tahun terakhir, Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak (UPT PPA) di bawah Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos P3A) telah mencatat peristiwa Kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Sumenep yang cenderung meningkat, dan ini menunjukkan Sumenep rapuh dalam soal perlindungan sosial.

Sejak tahun 2022 hingga pertengahan 2025, tercatat 156 kasus kekerasan yang masuk ke dalam pendataan resmi. Tahun 2022 dimulai dengan 40 laporan, disusul penurunan menjadi 34 kasus pada 2023. Namun alih-alih terus membaik, jumlah itu melonjak pada 2024 menjadi 50 kasus. Sementara hingga Juni 2025, sudah tercatat 32 kasus, memperlihatkan tren yang belum kunjung melandai.

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan pencabulan anak menjadi dua wajah kekerasan yang paling sering muncul. Keduanya mencerminkan bahwa ruang domestik, yang semestinya aman, justru menjadi tempat paling rentan bagi perempuan dan anak.

Data dari UPT PPA menunjukkan pada 2022 ada 11 kasus KDRT dan 7 kasus penelantaran terhadap perempuan. Tahun berikutnya, 2023, terjadi lonjakan laporan pencabulan terhadap anak hingga 17 kasus. Meskipun sempat sedikit menurun pada 2024, masih tercatat 16 kasus serupa. Paruh pertama tahun 2025, kembali ditemukan 6 kasus pencabulan yang dilaporkan.

Korban terus berjatuhan, sebagian besar di antaranya adalah anak-anak yang belum mampu membela diri. Ironi ini seakan menampar kesadaran publik tentang pentingnya perlindungan terhadap kelompok rentan.

Selain dua bentuk kekerasan utama itu, masih banyak jenis kekerasan lain yang tercatat: pelecehan seksual, perundungan, perebutan hak asuh anak, penelantaran bayi, hingga kasus anak yang dibawa lari. Semuanya hadir dalam satu pola besar: minimnya kesadaran, lemahnya pengawasan, dan lambatnya respons kolektif.

Pada tahun 2024 saja, korban kekerasan terhadap perempuan mencapai 19 kasus, dan terhadap anak-anak 31 kasus. Setengah tahun berikutnya, masing-masing sudah mencatat 16 kasus. Angka-angka ini bukan sekadar statistik, melainkan potret kegagalan sistem perlindungan sosial di tingkat lokal.

Pemerintah daerah, melalui Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos P3A) terus berupaya menanggulangi masalah ini. Namun seperti disampaikan Kepala Dinsos P3A, Mustangin, penanganan kekerasan tak bisa hanya menjadi beban pemerintah. Masyarakat harus ikut berperan, mulai dari mencegah, mengenali gejala awal, hingga berani melaporkan.

Dalam banyak kasus, pelaporan datang terlambat. Korban sering kali memilih diam karena tekanan sosial, ketergantungan ekonomi, atau rasa malu. Ini menjadi pekerjaan rumah yang lebih besar dari sekadar angka. Ada kultur yang harus dilawan, ada stigma yang harus dikikis.

Pendidikan publik tentang kekerasan perlu digalakkan, tidak hanya di ruang-ruang formal, tapi juga melalui kanal-kanal yang dekat dengan warga: majelis taklim, sekolah, hingga forum-forum desa. Pemberdayaan perempuan dan pemahaman anak-anak atas hak mereka perlu menjadi program nyata, bukan sekadar jargon tahunan.

Sumenep sedang menghadapi darurat sosial yang nyata. Jika dibiarkan, kekerasan akan terus menjadi siklus yang tak terputus. Dan jika perlindungan tidak diperkuat hari ini, generasi yang tumbuh di bawah bayang-bayang trauma akan menjadi warisan paling kelam daerah ini.

(*)
Advertisement
close