![]() |
Sumber: bbc.com |
LANGGAMPOS.NET - SUMENEP - Masalah sampah Sumenep kian mendesak. Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur mencatat, timbunan sampah pada 2024 mencapai 364 ton per hari atau sekitar 133 ribu ton per tahun. Sementara Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Batuan hanya mampu menampung 40 ton per hari.
Kondisi ini membuat persoalan pengelolaan sampah Sumenep tak bisa hanya mengandalkan penambahan kapasitas TPA. Inisiatif warga atasi sampah menjadi jalan alternatif. Dua contoh lahir dari Desa Marengan Daya dan Pondok Pesantren Annuqayah di Guluk-Guluk.
Lewat Bank Sampah Mawar dan Laboratorium UPT Jatian, mereka membuktikan bahwa daur ulang sampah plastik bisa menjadi solusi nyata bagi lingkungan sekaligus mendatangkan manfaat ekonomi.
Bank Sampah Mawar: Dwi Retnowati dan Ibu-Ibu Marengan Daya
Sejak akhir 2014, Dwi Retnowati memberdayakan ibu-ibu di Desa Marengan Daya melalui bank sampah Sumenep bernama Bank Sampah Mawar. Di tempat ini, plastik yang biasanya berakhir di TPA diolah menjadi dompet, tas belanja, hingga gorden.
"Bumi itu kita pinjam dari anak cucu. Kalau kita pinjam ya dikembalikan dalam kondisi baik, jadi kita rawat," kata Dwi kepada wartawan Ahmad Mustofa dari BBC News Indonesia.
"Cara merawatnya bagaimana? Kelola dengan baik. Mengelolanya bagaimana? Ya, dari sampahnya. Yang membuat bumi kita itu sakit ataupun rusak, kita hindari," ujarnya.
Sebelum aktif mengelola sampah, Dwi adalah guru di Kepulauan Kangean. Ia berhenti mengajar pada 2013 ketika hamil anak pertama. Dari usaha kecil seperti jualan nasi kotak, jasa antar barang, hingga penyewaan tempat sampah untuk hajatan, Dwi akhirnya menemukan panggilan lain: pengolahan sampah plastik.
Saat menjadi kader lingkungan desa, ia menilai kondisi sampah sudah “darurat”. Maka lahirlah ide mendirikan Bank Sampah Mawar.
Dari Nol Hingga Gudang Permanen
Awalnya, bank sampah hanya berupa teras rumah Dwi. Ia harus keliling dari pintu ke pintu mengajak warga bergabung. Baru pada 2015 ia mendapat nasabah pertama.
"Saya mengajak yang mau saja, tinggalkan yang enggak mau. Mulai dari sekarang dan sesegera mungkin dimulai, jangan ditunda," ujar Dwi.
Kini, sebelas tahun berselang, Bank Sampah Mawar memiliki bangunan permanen 6x4 meter. Prosesnya sederhana: warga memilah sampah rumah tangga di rumah, lalu membawa plastik ke bank sampah untuk ditimbang dan dicatat.
"Setelah terkumpul, ada proses sortir. Disortir lagi sesuai jenisnya, lalu dipilah mana yang bisa dikelola jadi fungsi baru," jelas Dwi.
Hasilnya beragam. Plastik makanan ringan dijadikan tas, dompet, atau tempat tisu. Tutup botol yang semula dianggap remeh disulap jadi gorden atau bros.
Cuan dari Limbah
Harga plastik kemasan biasanya hanya Rp500–Rp600 per kilogram. Namun setelah diolah, nilainya berlipat.
"Supaya mendatangkan feedback cuan yang banyak lagi ke kita, kita olah menjadi bros, dompet, atau tas keresek yang semula kita pandang sebelah mata," kata Dwi.
Ia belajar secara otodidak, dari internet hingga pelatihan kecil. Pemasaran produk masih terbatas, lebih sering lewat pameran atau mulut ke mulut. Namun manfaatnya nyata.
"Biasanya sampah toko dibuang sembarangan, itu akhirnya dikumpulkan dan dikasihkan ke Ibu Dwi," kata Isnawati, 55 tahun, pemilik toko kelontong.
Siti Aisyah, 50 tahun, juga merasakan manfaatnya. "Banyak keuntungannya menurut saya. Ini kan hal positif," ujarnya.
Bank Sampah Mawar bahkan memunculkan pasukan kebersihan “sapu jagat” yang menjemput sampah rumah tangga ke rumah-rumah.
Pesantren Annuqayah: Paving Block dari Sampah Plastik
Sekitar 31 kilometer dari Marengan Daya, Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa juga mengelola sampah dengan cara berbeda. Lewat Laboratorium UPT Jatian, mereka menyulap sampah plastik menjadi paving block dari sampah plastik.
Program ini diresmikan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin pada Agustus 2023. Produksinya masih terbatas, dua paving block per hari, namun melibatkan santri aktif.
"Pondok pesantren kami adalah penyumbang sampah terbanyak ke TPA Annuqayah. Sehingga pengasuh mengutus santri untuk belajar pengelolaan sampah," kata Muhammad Holili, Kepala Laboratorium UPT Jatian.
Setiap hari, 4 kuintal sampah terkumpul dari asrama santri. Setelah dipilah, sebagian dijadikan paving block, sebagian eco-brick, sebagian dijual.
Santri Turun Tangan

Pengelolaan ini dijalankan santri secara langsung. Ahmad Hafi Fudoli, salah satunya, merasa kegiatan ini bagian dari pengabdian. "Saya ingin menjadi satu di antara orang-orang yang peduli terhadap sampah yang kita buat," katanya.
Belajar otodidak, Ahmad mengikuti seniornya. Raihan Firdaus, 17 tahun, juga demikian. "Di sini ada jadwal khusus, jam kerja mulai jam 6 pagi dan berakhir jam 12 siang. Untuk waktu di luar itu, kami kembali lagi seperti santri biasa," katanya.
Kegiatan ini menjadi contoh peran pesantren dalam pengelolaan sampah di Jawa Timur.
Persoalan Sampah yang Lebih Luas
Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur, Wahyu Eka Styawan, menilai masalah sampah bukan sekadar perilaku warga, tapi juga budaya konsumsi.
"Budaya instan membuat orang tinggal membuang-buang sampah begitu saja tanpa tahu dampaknya," ujarnya.
Ia menekankan produsen juga harus bertanggung jawab. "Sampah plastik itu yang beli masyarakat, tapi kita lupa bahwasanya ada yang produksi," katanya.
Menurut Wahyu, solusi tak cukup teknis, melainkan juga edukasi dan pengurangan sampah dari sumbernya. "Kalau cara pandangnya hanya keuntungan, sampah ini enggak akan selesai," ucapnya.
Kendala Layanan Sampah
Harga plastik kemasan biasanya hanya Rp500–Rp600 per kilogram. Namun setelah diolah, nilainya berlipat.
"Supaya mendatangkan feedback cuan yang banyak lagi ke kita, kita olah menjadi bros, dompet, atau tas keresek yang semula kita pandang sebelah mata," kata Dwi.
Ia belajar secara otodidak, dari internet hingga pelatihan kecil. Pemasaran produk masih terbatas, lebih sering lewat pameran atau mulut ke mulut. Namun manfaatnya nyata.
"Biasanya sampah toko dibuang sembarangan, itu akhirnya dikumpulkan dan dikasihkan ke Ibu Dwi," kata Isnawati, 55 tahun, pemilik toko kelontong.
Siti Aisyah, 50 tahun, juga merasakan manfaatnya. "Banyak keuntungannya menurut saya. Ini kan hal positif," ujarnya.
Bank Sampah Mawar bahkan memunculkan pasukan kebersihan “sapu jagat” yang menjemput sampah rumah tangga ke rumah-rumah.
Pesantren Annuqayah: Paving Block dari Sampah Plastik
Sekitar 31 kilometer dari Marengan Daya, Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa juga mengelola sampah dengan cara berbeda. Lewat Laboratorium UPT Jatian, mereka menyulap sampah plastik menjadi paving block dari sampah plastik.
Program ini diresmikan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin pada Agustus 2023. Produksinya masih terbatas, dua paving block per hari, namun melibatkan santri aktif.
"Pondok pesantren kami adalah penyumbang sampah terbanyak ke TPA Annuqayah. Sehingga pengasuh mengutus santri untuk belajar pengelolaan sampah," kata Muhammad Holili, Kepala Laboratorium UPT Jatian.
Setiap hari, 4 kuintal sampah terkumpul dari asrama santri. Setelah dipilah, sebagian dijadikan paving block, sebagian eco-brick, sebagian dijual.
Santri Turun Tangan

Pengelolaan ini dijalankan santri secara langsung. Ahmad Hafi Fudoli, salah satunya, merasa kegiatan ini bagian dari pengabdian. "Saya ingin menjadi satu di antara orang-orang yang peduli terhadap sampah yang kita buat," katanya.
Belajar otodidak, Ahmad mengikuti seniornya. Raihan Firdaus, 17 tahun, juga demikian. "Di sini ada jadwal khusus, jam kerja mulai jam 6 pagi dan berakhir jam 12 siang. Untuk waktu di luar itu, kami kembali lagi seperti santri biasa," katanya.
Kegiatan ini menjadi contoh peran pesantren dalam pengelolaan sampah di Jawa Timur.
Persoalan Sampah yang Lebih Luas
Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur, Wahyu Eka Styawan, menilai masalah sampah bukan sekadar perilaku warga, tapi juga budaya konsumsi.
"Budaya instan membuat orang tinggal membuang-buang sampah begitu saja tanpa tahu dampaknya," ujarnya.
Ia menekankan produsen juga harus bertanggung jawab. "Sampah plastik itu yang beli masyarakat, tapi kita lupa bahwasanya ada yang produksi," katanya.
Menurut Wahyu, solusi tak cukup teknis, melainkan juga edukasi dan pengurangan sampah dari sumbernya. "Kalau cara pandangnya hanya keuntungan, sampah ini enggak akan selesai," ucapnya.
Kendala Layanan Sampah
Kepala UPTD Pengelolaan Sampah DLH Sumenep, Achmad Junaidi, mengakui keterbatasan fasilitas. Dari 27 kecamatan, hanya 10 yang sudah terlayani pengangkutan sampah.
"Masih ada beberapa kecamatan yang belum kita layani. Itu tantangannya," kata Edi, sapaan Junaidi.
Program DLH sejauh ini berupa lomba desa bersih, sekolah Adiwiyata, hingga pendirian bank sampah.
Inisiatif Warga Jadi Inspirasi
Bagi Walhi, inisiatif seperti Bank Sampah Mawar dan UPT Jatian adalah langkah penting. "Tidak semua sampah berakhir di TPA Batuan. Prinsip 3R yang mereka jalankan membantu mengurangi volume sampah," kata Wahyu.
Namun, ia menegaskan upaya warga harus dibarengi dorongan pemerintah terhadap industri. "Percuma masyarakat melakukan inisiatif, tapi industrinya tidak berubah," ujarnya.
DLH Sumenep berjanji memperluas partisipasi masyarakat. Harapannya, kisah Dwi dan para santri bisa ditiru desa-desa lain. Dengan begitu, solusi sampah Jawa Timur bisa dimulai dari tingkat desa, sekolah, hingga pesantren.
"Masih ada beberapa kecamatan yang belum kita layani. Itu tantangannya," kata Edi, sapaan Junaidi.
Program DLH sejauh ini berupa lomba desa bersih, sekolah Adiwiyata, hingga pendirian bank sampah.
Inisiatif Warga Jadi Inspirasi
Bagi Walhi, inisiatif seperti Bank Sampah Mawar dan UPT Jatian adalah langkah penting. "Tidak semua sampah berakhir di TPA Batuan. Prinsip 3R yang mereka jalankan membantu mengurangi volume sampah," kata Wahyu.
Namun, ia menegaskan upaya warga harus dibarengi dorongan pemerintah terhadap industri. "Percuma masyarakat melakukan inisiatif, tapi industrinya tidak berubah," ujarnya.
DLH Sumenep berjanji memperluas partisipasi masyarakat. Harapannya, kisah Dwi dan para santri bisa ditiru desa-desa lain. Dengan begitu, solusi sampah Jawa Timur bisa dimulai dari tingkat desa, sekolah, hingga pesantren.
(*)
Sumber: bbc.com