DPR Soroti IKN sebagai Ibu Kota Politik, Kemendagri Diminta Beri Penjelasan Hukum

DPR Soroti IKN sebagai Ibu Kota Politik, Kemendagri Diminta Beri Penjelasan Hukum

9/22/2025, 18:57
DPR Soroti IKN sebagai Ibu Kota Politik, Kemendagri Diminta Beri Penjelasan Hukum








LANGGAMPOS.NET - Status Ibu Kota Nusantara memicu perdebatan baru setelah Presiden Prabowo Subianto menetapkannya sebagai ibu kota politik Indonesia pada 2028. 

Keputusan itu tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2025 tentang Pemutakhiran Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2025. 

Komisi II DPR menilai istilah ibu kota politik tidak diatur dalam Undang-Undang IKN, sehingga Kementerian Dalam Negeri perlu dimintai penjelasan hukum yang jelas.

Wakil Ketua Komisi II DPR, Aria Bima, menegaskan pihaknya akan memanggil Kemendagri untuk memberikan klarifikasi terkait dasar hukum yang menjadi rujukan pemerintah. 

Menurut dia, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian harus menjelaskan apakah status ibu kota politik memerlukan revisi undang-undang atau bisa dijalankan dengan regulasi yang ada.

"Segera saja kita akan tanyakan kepada mitra kami yang paling tepat Kemendagri," kata Aria Bima di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 22 September 2025.

Aria menyebut Presiden Prabowo memahami bahwa penetapan IKN sebagai ibu kota politik tidak bertentangan dengan tujuan awal pemindahan pusat pemerintahan ke Kalimantan Timur. 

Ia menilai keputusan itu menunjukkan konsistensi pemerintah untuk melanjutkan pembangunan IKN.

"Prabowo pasti paham betul mengenai sebuah tersebut tidak bertentangan dengan tujuan awal kita menempatkan ikn sebagai Ibu Kota Nusantara," kata Aria.

Ia menambahkan, keputusan Presiden juga menunjukkan adanya visi subjektif dalam menempatkan posisi IKN secara tepat. 

"Tapi saya melihat ada kehendak subjektif pak Prabowo untuk lebih menempatkan pada satu posisi yang pas untuk ibu kota ke depan. Satu harapan yang tetap kosisten adalah 2028 sudah terlaksana IKN," ujarnya.

Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2025 yang diteken pada 30 Juni 2025 menjadi dasar hukum penetapan IKN sebagai ibu kota politik. Aturan ini merevisi Perpres Nomor 109 Tahun 2025 tentang Rencana Kerja Pemerintah, sekaligus menyesuaikan dengan amanat Undang-Undang Nomor 62 Tahun 2025 mengenai APBN.

Dalam beleid itu, pemerintah melakukan pemutakhiran narasi pembangunan, termasuk sasaran nasional, program prioritas, dan proyek strategis. 

“Perencanaan dan pembangunan kawasan, serta pemindahan ke Ibu Kota Nusantara dilaksanakan sebagai upaya mendukung terwujudnya Ibu Kota Nusantara menjadi Ibu Kota Politik di tahun 2028,” demikian tertulis dalam aturan tersebut, dikutip Jumat, 19 September 2025.

Pemerintah menargetkan pembangunan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan di lahan seluas 800 hingga 850 hektare. Komposisinya terdiri dari 20 persen area perkantoran, 50 persen hunian layak dan terjangkau, serta 50 persen prasarana dengan indeks konektivitas ditetapkan pada angka 0,74. "Untuk terbangunnya kawasan inti pusat pemerintahan Ibu Kota Nusantara dan sekitarnya, dilakukan perencanaan dan penataan ruang Kawasan Inti Ibu Kota Nusantara dan sekitarnya, pembangunan gedung/perkantoran di Ibu Kota Nusantara," bunyi lampiran aturan tersebut.

Meski pemerintah sudah menyiapkan rencana detail, muncul kritik dari kalangan legislatif. Anggota Komisi II DPR, Muhammad Khozin, menilai istilah ibu kota politik tidak sesuai dengan Undang-Undang IKN.

"Di UU IKN spirit yang kita tangkap menjalankan fungsi pusat pemerintahan sebagaimana terdapat di Pasal 12 ayat (1) UU No 21 Tahun 2023 tentang IKN. Tidak ada sama sekali menyebut frasa Ibu Kota Politik," kata Khozin.

Khozin meminta pemerintah menjelaskan maksud dari istilah baru ini. Ia menilai ada konsekuensi hukum dan politik jika ibu kota politik dimaknai sama dengan ibu kota negara. "Implikasi politik dan hukum akan muncul ketika Ibu Kota Negara secara definitif pindah dari Jakarta ke IKN," ujarnya.

Berdasarkan Pasal 39 ayat (1) UU No 3 Tahun 2022 tentang IKN, pemindahan ibu kota negara hanya dapat dilakukan dengan Keputusan Presiden. Menurut Khozin, jika pemindahan sudah sah secara hukum, maka seluruh lembaga negara, termasuk mitra internasional, harus menyesuaikan diri.

Ia menambahkan, penggunaan istilah baru justru berpotensi menimbulkan kebingungan publik. "Jika yang dimaksud ibu kota politik itu tak lain adalah pusat pemerintahan, sebaiknya tak perlu buat istilah baru yang menimbulkan tanya di publik," pungkasnya.

Polemik istilah ibu kota politik ini kini menjadi sorotan utama di Senayan. Komisi II DPR akan menunggu penjelasan resmi dari Kemendagri agar status IKN memiliki landasan hukum yang jelas dan tidak menimbulkan tafsir ganda di masyarakat.

(*)

TerPopuler

close