LANGGAMPOS.NET - Alunan tembang macopat kembali bergema di Dusun Tarebungan, Desa Kalianget Timur, Kecamatan Kalianget, Kabupaten Sumenep. Tradisi khas Madura itu hidup kembali dalam sebuah hajatan keluarga sederhana, namun sarat makna, Selasa (3/06/2025).
Di tengah suasana malam yang khidmat, keluarga Sahwa menggelar selamatan yang mereka sebut sebagai "Selamatan Pandawa". Tidak hanya sebagai acara adat, kegiatan ini menjadi media pelestarian budaya lokal yang mulai tergerus zaman.
“Kami niatkan acara ini sebagai bentuk doa agar putra kami senantiasa diberikan keselamatan, baik di dunia maupun akhirat,” kata Sahwa, tuan rumah acara, sambil menunduk haru di hadapan tamu undangan.
Di sebuah panggung kecil yang dipasang di pelataran rumah, tembang-tembang macopat mulai dilantunkan. Irama klasik itu seolah membawa hadirin menyusuri lorong-lorong masa silam, saat sastra lisan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Madura.
Salah satu pelaku seni yang hadir malam itu adalah Matrogo. Pria paruh baya ini dikenal sebagai seniman macopat yang masih aktif di wilayah Sumenep. Dengan suara khasnya, ia membawakan bait demi bait dengan penuh penghayatan.
“Generasi muda saat ini memang kurang tertarik dengan macopat, tapi saya tetap berusaha maksimal agar tradisi ini tidak hilang. Harapan saya, akan ada bibit-bibit muda yang bisa meneruskan seni ini,” ujar Matrogo penuh harap, seusai tampil.
Kesenian macopat bukan sekadar nyanyian berbahasa Jawa kuno. Ia adalah bentuk kearifan lokal yang menyimpan nilai moral, spiritual, dan sosial. Dalam setiap baitnya tersimpan pesan-pesan kehidupan yang mendalam.
Sayangnya, tradisi ini mulai tersisih oleh modernitas. Anak-anak muda lebih akrab dengan layar gawai dibanding syair macopat yang syarat filosofi. Karena itu, acara semacam ini menjadi penting untuk membangkitkan kesadaran kolektif.
“Seni ini bukan hanya hiburan, tapi juga pendidikan. Kami ingin mengenalkan kembali kepada masyarakat, terutama generasi muda, bahwa macopat adalah warisan luhur yang perlu dirawat,” kata Sahwa menambahkan.
Dengan digelarnya tembang macopat dalam hajatan keluarga, Dusun Tarebungan memberi contoh bagaimana budaya lokal dapat terus hidup, tidak hanya di museum, tetapi dalam denyut kehidupan masyarakat. Sebuah warisan yang tak lekang oleh waktu.
Kesenian macopat bukan sekadar nyanyian berbahasa Jawa kuno. Ia adalah bentuk kearifan lokal yang menyimpan nilai moral, spiritual, dan sosial. Dalam setiap baitnya tersimpan pesan-pesan kehidupan yang mendalam.
Sayangnya, tradisi ini mulai tersisih oleh modernitas. Anak-anak muda lebih akrab dengan layar gawai dibanding syair macopat yang syarat filosofi. Karena itu, acara semacam ini menjadi penting untuk membangkitkan kesadaran kolektif.
“Seni ini bukan hanya hiburan, tapi juga pendidikan. Kami ingin mengenalkan kembali kepada masyarakat, terutama generasi muda, bahwa macopat adalah warisan luhur yang perlu dirawat,” kata Sahwa menambahkan.
Dengan digelarnya tembang macopat dalam hajatan keluarga, Dusun Tarebungan memberi contoh bagaimana budaya lokal dapat terus hidup, tidak hanya di museum, tetapi dalam denyut kehidupan masyarakat. Sebuah warisan yang tak lekang oleh waktu.
(*)