Iklan

Langgapos Net
Redaksi
6/08/2025, 19:40 WIB
Last Updated 2025-06-08T12:40:31Z
Langgam Pendidikan

Mengapa Tikus dan Ikan Selalu Jadi Pengganti Manusia dalam Penelitian Medis

Mengapa Tikus dan Ikan Selalu Jadi Pengganti Manusia dalam Penelitian Medis


LANGGAMPOS.NET - Di dunia laboratorium yang sunyi, seekor tikus kecil atau ikan zebra mungil bisa menjadi harapan besar bagi dunia medis. Di balik tubuh mungil mereka, para ilmuwan menemukan cerminan tubuh manusia—bukan hanya secara biologis, tetapi juga dalam respons terhadap obat, penyakit, dan racun.

Dalam dunia riset, hewan seperti tikus dan ikan dikenal sebagai animal models. Istilah ini merujuk pada hewan yang dipakai untuk meniru kondisi biologis manusia. Tujuannya satu: memahami cara kerja tubuh manusia dan menemukan cara paling aman serta efektif untuk mengobatinya.


Mengapa Hewan?

Pertanyaan pertama yang muncul adalah: mengapa tidak langsung menguji pada manusia?

Jawabannya sederhana: etika dan keselamatan. Tidak mungkin para ilmuwan dengan sengaja memberi zat berbahaya kepada manusia hanya untuk melihat efeknya. Karena itulah, hewan menjadi ‘perwakilan’ manusia dalam eksperimen. Di tingkat sel, molekul tikus atau ikan sangat mirip dengan manusia, memungkinkan para peneliti menguji efek obat atau racun dengan lebih aman.

Menurut Isaac Pessah, seorang toksikolog dari University of California, pemahaman soal bahaya zat kimia seperti triclosan—bahan pembunuh kuman dalam sabun dan pasta gigi—ditemukan bukan dari manusia, tapi dari tikus dan ikan. Tikus yang terpapar triclosan mengalami kelemahan otot jantung, dan ikan kehilangan kemampuan berenang dengan cepat.

Melihat Masa Depan Obat Melalui Genetik

Lebih dari sekadar pengganti manusia, hewan juga bisa dimodifikasi genetik untuk meniru penyakit manusia secara spesifik. Misalnya, para peneliti bisa mengubah DNA tikus agar menunjukkan gejala penyakit jantung, kanker, atau gangguan neurologis seperti yang dialami manusia.

Gary Peltz dari Stanford School of Medicine bahkan menciptakan tikus dengan hati manusia. Dengan menghapus sistem imun tikus dan mengganti hati mereka dengan sel hati manusia, ia berhasil menciptakan hewan model yang mampu mendeteksi efek racun pada hati secara lebih akurat. Inovasi ini bisa saja menyelamatkan nyawa pada uji coba obat hepatitis tahun 1993, yang menyebabkan kematian tujuh pasien karena kegagalan hati yang tidak terdeteksi pada hewan uji konvensional.

Kekuatan Ikan Zebra

Namun bukan hanya tikus yang jadi pahlawan laboratorium. Ikan zebra—dengan ukurannya yang mungil dan siklus hidup cepat—menjadi pilihan ideal dalam tahap awal penyaringan obat. Hanya dalam 24 jam setelah telur dibuahi, jantung ikan zebra sudah berdetak. Ini memberikan keunggulan kecepatan dalam pengujian.

Jeffrey Saffitz, seorang ahli patologi jantung, menggunakan ikan zebra yang dimodifikasi untuk memiliki gen penyakit aritmia jantung. Gen kunang-kunang ditambahkan agar jantung ikan menyala saat mulai gagal bekerja. Hasilnya, dari 5.000 senyawa yang diuji, hanya tiga yang menunjukkan potensi. Salah satunya bahkan pernah diuji pada manusia untuk gangguan bipolar, meski data akhirnya belum bisa diakses.

Dari Laboratorium ke Dunia Nyata

Tentu saja, keberhasilan di ikan tidak selalu berarti keberhasilan di manusia. Karena itu, para peneliti membawa senyawa yang menjanjikan itu ke langkah berikutnya: uji sel. Kali ini, mereka menggunakan sel jantung tikus dan manusia, yang diambil dari darah pasien dan diubah menjadi sel otot jantung melalui teknologi induced pluripotent stem cells.

Hasilnya positif. Senyawa tersebut memperbaiki kelainan protein pada sel jantung dan mencegah kematian sel. Ini menjadi pijakan awal untuk melangkah ke uji klinis manusia, meskipun masih jauh. Dari ribuan senyawa yang diuji setiap tahun, hanya sedikit yang lolos hingga tahap akhir dan bisa diresepkan dokter.

Keterbatasan yang Harus Diakui

Meski sangat membantu, hewan bukanlah salinan sempurna manusia. Michael Bracken, seorang epidemiolog dari Yale University, mengingatkan bahwa respon biologis antara spesies bisa sangat berbeda. Obat yang aman bagi tikus belum tentu aman bagi manusia, dan sebaliknya.

Contohnya adalah kegagalan uji obat hepatitis 1993. Tikus, anjing, dan monyet tidak menunjukkan efek samping, tetapi manusia mengalami kerusakan hati yang parah. Itu karena hanya manusia yang memiliki protein khusus untuk memproses senyawa mirip DNA tersebut.

Teknologi yang Terus Berkembang

Teknologi kini membuat rekayasa genetik pada hewan semakin canggih. Dengan menggabungkan data genetik manusia dan teknologi gene editing, para ilmuwan menciptakan model penyakit yang semakin mirip kondisi manusia. Ini bukan hanya mempercepat proses penemuan obat, tapi juga mengurangi biaya dan risiko.

Kini, arah riset mulai bergeser menuju pendekatan multi-model: kombinasi hewan, sel manusia, dan kecerdasan buatan untuk memprediksi efek obat secara lebih presisi. Dalam waktu dekat, mungkin saja kita melihat penggabungan data dari tikus, ikan, dan algoritma AI dalam satu sistem prediksi medis.

Penutup

Dunia medis memang tidak bisa langsung melompat ke manusia saat menguji potensi terapi atau obat baru. Hewan model menjadi jembatan penting dalam perjalanan panjang ini. Dari tikus yang direkayasa genetik hingga ikan zebra dengan jantung bercahaya, mereka menjadi pahlawan tak terlihat di balik setiap kemajuan teknologi kesehatan.

Dan meski tak sempurna, keberadaan mereka membantu menyelamatkan waktu, biaya, dan—yang terpenting—nyawa manusia.


(*)
Advertisement
close