LANGGAMPOS.NET - Parkit, burung kecil berwarna cerah yang sering jadi penghuni sangkar di rumah-rumah, ternyata memiliki kemampuan yang tak biasa. Di balik kicauan riangnya, tersimpan sistem saraf yang kompleks dan mengejutkan. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa otak Parkit bekerja sangat mirip dengan otak manusia dalam menghasilkan suara yang terstruktur dan bermakna.
Temuan ini dipublikasikan dalam jurnal Nature pada 19 Maret oleh tim peneliti dari New York University Langone Health. Michael Long, ahli saraf yang memimpin studi tersebut, menyatakan bahwa ini adalah bukti pertama dari spesies non-manusia yang memiliki sistem otak penghasil bahasa yang menyerupai milik manusia.
Dengan nama ilmiah Melopsittacus undulatus, Parkit selama ini dikenal sebagai burung yang aktif secara sosial dan pandai meniru suara. Namun yang membuatnya istimewa adalah bagaimana suara-suara tersebut diproduksi. Peneliti merekam aktivitas saraf di bagian depan otak burung, tepatnya di area yang disebut anterior arcopallium. Dari sinilah beragam suara burung Parkit berasal—mulai dari siulan panjang, trilan cepat, hingga suara pendek yang mirip konsonan.
Tim peneliti menemukan bahwa susunan aktivitas saraf di area tersebut mengikuti pola yang sistematis. Setiap pola menghasilkan jenis suara tertentu. Burung ini dapat menggabungkan berbagai elemen suara melalui pengaturan sinyal dari otaknya secara presisi, sehingga menghasilkan "ucapan" yang terdengar lincah dan variatif.
Menariknya, cara kerja otak Parkit ini mencerminkan bagaimana otak manusia mengatur gerakan otot mulut dan pita suara saat berbicara. Meski berbeda spesies dan jauh secara evolusioner, Parkit dan manusia sama-sama mengembangkan sistem otak yang mampu menciptakan rangkaian suara kompleks. Fenomena ini dikenal sebagai konvergensi evolusi—dua spesies berbeda mengembangkan solusi serupa untuk tantangan yang sama.
Penelitian ini tidak hanya penting untuk dunia ornitologi. Pemahaman terhadap bagaimana otak burung membentuk suara dapat memberikan petunjuk bagi dunia medis, khususnya dalam mempelajari gangguan bicara pada manusia. Jika mekanisme dasar produksi suara ternyata bisa ditemukan juga di otak burung, maka ada peluang untuk mengembangkan terapi atau pendekatan baru terhadap masalah seperti gagap atau afasia.
Namun satu pertanyaan masih belum terjawab: apa yang sebenarnya dibicarakan oleh para Parkit ini?
Michael Long dan timnya kini menggunakan teknologi kecerdasan buatan untuk mengurai makna dari setiap variasi suara burung tersebut. Mereka sedang mengembangkan sistem yang mampu mendeteksi pola suara dan mencoba mengaitkannya dengan konteks atau perilaku burung. Apakah mereka sedang memanggil pasangan? Memberi peringatan? Atau hanya sekadar menyapa?
Jika bahasa Parkit benar-benar mengandung makna seperti bahasa manusia, maka kita tidak hanya belajar tentang cara kerja otak mereka, tetapi juga tentang cara mereka berkomunikasi sebagai makhluk sosial.
Penelitian ini perlahan mengaburkan batas antara manusia dan hewan dalam hal bahasa. Kemampuan menyusun suara menjadi pesan ternyata bukan keistimewaan mutlak manusia. Dengan otak seukuran kacang, Parkit mampu menunjukkan bahwa komunikasi yang kompleks bisa muncul dalam bentuk yang tidak kita sangka.
Mungkin sudah waktunya kita melihat hewan bukan sekadar makhluk instingtif, tapi juga sebagai pemilik kecerdasan unik yang berkembang melalui jalur evolusi yang berbeda—namun menuju tujuan yang serupa: menyampaikan pesan, membentuk relasi, dan memahami dunia.
(*)