Sejarah Pajak di Indonesia, Siapa yang Mengenalkan?

Sejarah Pajak di Indonesia, Siapa yang Mengenalkan?

9/28/2025, 11:00
Sejarah Pajak di Indonesia, Siapa yang Mengenalka



LANGGAMPOS.NET - Gelombang protes menolak kenaikan pajak kembali muncul di sejumlah daerah. Pada Agustus 2025, ribuan warga Kabupaten Pati, Jawa Tengah, turun ke jalan setelah pemerintah daerah memutuskan menaikkan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Aksi itu berakhir ricuh setelah massa menilai kebijakan tersebut memberatkan.

Tak hanya di Pati, unjuk rasa menolak kenaikan tarif pajak meluas ke berbagai daerah. Kabupaten Bone di Sulawesi Selatan, Kabupaten Cirebon di Jawa Barat, Jombang di Jawa Timur, hingga Semarang ikut bergolak. Kenaikan tarif PBB-P2 yang mencapai ratusan persen membuat warga menilai pemerintah tak lagi memikirkan kemampuan ekonomi masyarakat.

Fenomena protes pajak bukan kali pertama terjadi. Pada Desember 2024, demonstrasi besar juga meletup ketika pemerintah pusat berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen. Penolakan datang dari berbagai kalangan masyarakat. Pemerintah akhirnya menempuh jalan tengah dengan tetap mempertahankan tarif 11 persen untuk barang-barang non-mewah melalui mekanisme dasar pengenaan pajak (DPP) nilai lain.

Polemik pajak di Indonesia yang kerap memicu demonstrasi sejatinya bukan hal baru dalam sejarah panjang pungutan negara. Sejak ribuan tahun silam, konsep pajak sudah dikenal oleh peradaban manusia. Sekitar 300 SM, Mesir Kuno yang dipimpin Firaun memperkenalkan sistem pungutan negara. Pajak dikenakan atas gandum, tekstil, tenaga kerja, dan komoditas lain.

Firaun tidak sekadar menerapkan pajak sama rata, melainkan menyesuaikan dengan kemampuan objek pajak. Ladang subur dan produktif dikenai pajak tinggi, sedangkan ladang yang tidak menghasilkan dikenai pajak rendah. Hasil pungutan pajak dialokasikan untuk pembangunan dan menjaga ketertiban sosial. Sistem ini menuntut rakyat bekerja keras, tetapi di sisi lain mampu meningkatkan kas negara. Warisan pajak Firaun kemudian diadopsi banyak negara modern.

Di Indonesia, konsep pajak baru hadir pada 1811 ketika Thomas Stamford Raffles datang ke Hindia Belanda mewakili Kerajaan Inggris. Sejarawan Ong Hok Ham dalam bukunya Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang menulis, "Raffles (1811–1816) adalah penguasa Barat pertama yang meletakkan dasar finansial negara kolonial baru di Indonesia. Inggris, dan koloninya, menurut dia, harus dibiayai dengan pajak. Konsep pajak dilahirkan olehnya."

Raffles memperkenalkan pajak tanah dengan asumsi bahwa semua tanah di Jawa adalah milik Inggris. Para petani yang menggarap tanah wajib membayar pajak secara individual dalam bentuk uang. Ong Hok Ham mencatat, "Pajak tanah Raffles adalah atas petani individual dan bukan atas desa atau wilayah. Dan berupa uang."

Namun, Raffles tak sempat merasakan hasil kebijakannya. Pada 1816, ia kembali ke Inggris dan meninggalkan Hindia Belanda. Sistem pajak lalu diteruskan penguasa baru. Tahun 1870, pemerintah kolonial memperluas pungutan dengan memperkenalkan pajak pribadi, pajak usaha, hingga pajak jual beli.

Beban pajak saat itu menyasar semua golongan. Orang Eropa, kaum kaya lokal, dan pribumi sama-sama dikenakan pungutan. Namun, yang paling terbebani tetaplah rakyat jelata. Ong menulis, "Kira-kira dasawarsa pertama abad ke-20, penduduk pribumi yang sebagian besar terkena pajak tanah, menyumbang 60 persen penghasilan Hindia Belanda."

Sistem pajak kolonial kerap dianggap bentuk pemerasan karena tidak memberi timbal balik sepadan bagi rakyat. Pajak dipungut untuk kepentingan pemerintah, bukan untuk kesejahteraan masyarakat. Kondisi inilah yang membentuk persepsi negatif terhadap pajak di Indonesia.

Setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia mencoba mengubah fungsi pajak menjadi instrumen pembangunan dan pemerataan. Namun dalam praktiknya, kebijakan pajak kerap menimbulkan kontroversi. Kenaikan tarif pajak sering dianggap tidak sebanding dengan layanan publik yang diterima masyarakat.

Dua abad lebih setelah diperkenalkan Raffles, persoalan pajak di Indonesia masih berulang. Setiap kebijakan baru selalu menimbulkan reaksi keras. Demonstrasi demi demonstrasi seolah menjadi cermin bahwa rakyat masih menilai pajak lebih sebagai beban daripada kewajiban sosial untuk membiayai negara.

Sejarah panjang pajak dari Firaun Mesir hingga kolonialisme Eropa di Nusantara menunjukkan satu hal penting: pungutan pajak selalu memerlukan keadilan. Tanpa rasa adil, pajak akan terus dianggap sebagai bentuk pemerasan negara kepada rakyat.

Hari ini, di tengah riuhnya penolakan PBB dan PPN, jejak sejarah itu terasa relevan. Indonesia masih berjuang menemukan formula pajak yang tidak sekadar menambah kas negara, tetapi juga memberikan kepercayaan dan rasa adil bagi masyarakat pembayarnya.


(*)

TerPopuler

close