LANGGAMPOS.NET - SUMENEP - Kasus perceraian di Kabupaten Sumenep pada 2025 mengalami peningkatan signifikan. Data Pengadilan Agama Sumenep mencatat, hingga Juli tahun ini sudah ada 1.100 pasangan suami istri resmi bercerai. Angka ini menunjukkan tren perceraian di Sumenep masih tinggi dan menjadi perhatian serius.
Kepala Pengadilan Agama Sumenep, Moh. Jatim, menjelaskan bahwa perceraian di wilayahnya dipicu oleh berbagai faktor, mulai dari masalah ekonomi hingga perilaku suami yang tidak bertanggung jawab.
“Kurangnya persiapan mental bagi para pengantin juga menjadi penyebab perceraian. Bahkan juga tidak luput dari hasil pemaksaan atas perjodohan orang tua sehingga tidak memiliki kecocokan antara suami dan istri,” katanya, Jumat, 8 Agustus 2025.
Fenomena ini tidak hanya terjadi pada pasangan berusia matang. Menurut Jatim, cukup banyak kasus perceraian yang berasal dari pernikahan anak di Sumenep. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pernikahan dini masih menjadi persoalan yang mempengaruhi keutuhan rumah tangga.
Mayoritas pasangan yang mengajukan perceraian ke Pengadilan Agama Sumenep baru menjalani kehidupan rumah tangga antara satu hingga tiga tahun. Hal ini menjadi sinyal bahwa sebagian pasangan belum siap menghadapi tantangan kehidupan berumah tangga.
“Tingginya angka kasus perceraian tidak hanya terjadi pada pasangan yang berusia matang saja, melainkan juga terjadi pada pernikahan anak untuk di Kabupaten Sumenep,” ujarnya.
Pengadilan Agama Sumenep menilai, perlu adanya kesadaran dari calon pengantin untuk mempersiapkan diri, baik secara mental maupun ekonomi, sebelum melangsungkan pernikahan. Persiapan ini dianggap penting untuk mengurangi risiko perceraian yang bisa terjadi di awal pernikahan.
Faktor ekonomi disebut sebagai salah satu penyebab dominan perceraian. Tidak sedikit pasangan yang memutuskan berpisah karena sulit memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kondisi ini semakin diperparah jika salah satu pihak, terutama suami, tidak menjalankan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga.
Selain itu, pernikahan yang dilandasi paksaan atau perjodohan oleh orang tua juga menjadi pemicu ketidakcocokan antara suami dan istri. Ketika hubungan tidak dilandasi kemauan dan kesiapan kedua belah pihak, konflik rumah tangga lebih mudah terjadi.
Pengadilan Agama Sumenep berupaya memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya kesiapan mental sebelum menikah. Edukasi ini diharapkan dapat menekan angka perceraian yang terus meningkat setiap tahun.
Kasus perceraian di Sumenep pada 2025 mencerminkan tantangan besar dalam membangun rumah tangga yang harmonis.
Lonjakan angka ini menjadi peringatan bahwa pernikahan bukan sekadar urusan administratif atau tradisi, melainkan komitmen jangka panjang yang memerlukan kesiapan lahir batin.
(*)