LANGGAMPOS.NET - SUMENEP - Tujuh belas anak meninggal dunia akibat campak di Kabupaten Sumenep hingga Agustus 2025. Dari jumlah itu, enam belas anak sama sekali belum pernah mendapat imunisasi. Satu lainnya tidak lengkap imunisasinya. Angka ini membuka fakta kelam: imunisasi dasar di Sumenep masih jauh dari ideal.
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa turun tangan. Sabtu, 23 Agustus, ia memimpin rapat teknis lintas sektor di Kantor Bupati, meninjau pasien di RSUD dr. Moh. Anwar, dan menyaksikan vaksinasi campak rubela di Pendopo Kabupaten. “Secara vertikal, Kemenkes RI dan Pemprov Jatim hadir langsung. Bahkan ada UNICEF dan WHO,” kata Khofifah.
Kehadiran lembaga internasional menegaskan seriusnya wabah ini. Namun, persoalan mendasar bukan hanya pada penanganan cepat, melainkan lemahnya kesadaran imunisasi di masyarakat.
Menurut Dinas Kesehatan setempat, cakupan imunisasi dasar di sejumlah kecamatan di Sumenep tak pernah tembus target nasional. Sebagian orang tua masih ragu membawa anaknya ke posyandu. Faktor ekonomi, kurangnya akses transportasi di wilayah kepulauan, serta misinformasi soal vaksin ikut memperparah keadaan.
Khofifah menyadari masalah ini. Ia meminta tokoh masyarakat dan ulama ikut mendorong imunisasi. “Kita ingin generasi penerus nantinya semua sehat batin dan lahirnya,” ujarnya. Pesan itu diarahkan kepada para orang tua yang hingga kini masih menunda imunisasi anak.
Untuk percepatan, pemerintah menggelar program vaksinasi massal atau Outbreak Response Immunization (ORI) mulai 25 Agustus hingga 14 September 2025. Vaksinasi dilakukan di puskesmas, puskesmas pembantu, hingga posyandu. Pemprov Jatim sudah mengirimkan 9.825 vial vaksin Measles and Rubella (MR) dari Kementerian Kesehatan.
Dokter Spesialis Anak RSUD dr. Moh. Anwar, dr. Anita, menyebut rendahnya imunisasi sebagai akar masalah. “Banyak orang tua tidak menyadari pentingnya pencegahan melalui vaksinasi dasar dan booster,” ujarnya. Anita menambahkan, saat ini ada 16 pasien campak yang kondisinya stabil. Dua di antaranya segera dipulangkan.
KLB campak ini menguak kesenjangan besar antara program kesehatan nasional dan penerimaan masyarakat di tingkat lokal. Pemerintah mengalokasikan vaksin, tapi tidak semua anak mendapatkannya.
Sosiolog kesehatan menilai ada dimensi kultural yang sering diabaikan. Di sejumlah desa, isu soal efek samping vaksin masih beredar luas. Sebagian keluarga di pedesaan dan kepulauan Madura lebih percaya pada pengobatan tradisional. Akibatnya, imunisasi sering dipandang tidak mendesak.
Dalam catatan Dinas Kesehatan, tren imunisasi di Sumenep selalu rendah dalam lima tahun terakhir. Capaian vaksinasi dasar lengkap anak usia di bawah dua tahun sering kali berada di bawah rata-rata provinsi. Situasi itu menjadikan Sumenep salah satu daerah rawan wabah penyakit menular.
Khofifah menekankan koordinasi lintas sektor. Ia melibatkan TNI, Polri, pemerintah kabupaten, hingga lembaga internasional. Harapannya, program vaksinasi massal kali ini bisa menutup celah besar yang ditinggalkan selama bertahun-tahun. “Kami ingin pesan ini sampai kepada semua orang tua. Jangan sampai ada anak-anak yang kehilangan nyawa hanya karena tidak mendapat imunisasi,” katanya.
Kasus luar biasa di Sumenep ini menjadi peringatan keras. Wabah campak bukan semata masalah medis, melainkan cermin lemahnya fondasi kesehatan masyarakat. Selama imunisasi belum dianggap kebutuhan utama, ancaman wabah akan selalu mengintai.
(*)