Iklan

Langgapos Net
Redaksi
6/16/2025, 20:38 WIB
Last Updated 2025-06-16T13:40:18Z
Langgam Gaya Hidup

Memahami Fenomena Ghosting, Masalah Hubungan yang Sering Dialami Anak Muda

Ghosting-dan-Situationship


LANGGAMPOS.NET - Ghosting menjadi fenomena yang kian marak dialami oleh anak muda. Istilah ini merujuk pada tindakan memutuskan komunikasi secara tiba-tiba dan tanpa penjelasan, baik melalui pesan teks, telepon, maupun media sosial. Ghosting seringkali meninggalkan kebingungan dan luka emosional, terutama bagi pihak yang ditinggalkan tanpa alasan.

Menurut kamus Merriam-Webster, Ghosting adalah cara seseorang menghilang begitu saja dalam suatu hubungan, tanpa kejelasan, tanpa penutupan. Biasanya terjadi dalam konteks hubungan romantis.

Menurut Dr. Rufus Tony Spann, Ghosting sering berakar pada ketidakmampuan seseorang menghadapi percakapan sulit, konflik, atau menyampaikan ketidaktertarikan secara langsung. Banyak orang lebih memilih menghilang daripada berhadapan dengan ketidaknyamanan emosional.

Beberapa pelaku Ghosting juga dipengaruhi oleh pola hubungan tidak sehat seperti breadcrumbing (memberi harapan palsu dengan usaha minimal) atau situationship (hubungan tanpa komitmen). 

Dalam banyak kasus, Ghosting juga berkaitan dengan gaya keterikatan yang tidak aman yang terbentuk sejak masa kecil, di mana individu takut terhadap kerentanan dan kehilangan kebebasan.

Dampak 
Ghosting tidak hanya dirasakan oleh korban, tetapi juga memengaruhi pelaku. Bagi korban, Ghosting sering menimbulkan luka psikologis yang dalam. 

Mereka cenderung mempersonalisasi pengalaman tersebut, merasa tidak cukup baik, mempertanyakan harga diri, bahkan mengalami kecemasan dan depresi. 

Ghosting memutuskan ruang untuk berdialog dan memproses perasaan, yang seharusnya menjadi bagian penting dari penutupan dalam hubungan.

Studi yang dipublikasikan dalam International Journal of Environmental Research and Public Health pada 2020 menemukan bahwa korban 
Ghosting  mengalami kesepian, rasa tidak berdaya, dan kepuasan hidup yang rendah. 

Jika pengalaman ini terulang, korban bisa menjadi mati rasa terhadap penolakan dan mengembangkan pola hubungan yang tidak sehat.

Sementara itu, pelaku 
Ghosting tidak selalu keluar tanpa beban. Menghindari komunikasi yang jujur bisa memperkuat pola hubungan tidak sehat. Mereka cenderung mengulang perilaku serupa di masa depan, sulit membangun hubungan yang matang, dan berpotensi terjebak dalam siklus ketidakdewasaan emosional.

Mengatasi 
Ghosting membutuhkan perubahan perilaku, baik dari pelaku maupun korban. Bagi pelaku, kunci utamanya adalah membangun keberanian untuk berkomunikasi secara jujur dan terbuka. 

Menyampaikan ketidaktertarikan secara langsung jauh lebih sehat daripada menghilang. Ini memberikan ruang bagi kedua pihak untuk memahami dan menerima realitas hubungan.

Bagi korban, penting untuk menyadari bahwa 
Ghosting seringkali lebih mencerminkan ketakutan atau ketidakmatangan pelaku, bukan kekurangan diri sendiri. Mengikuti terapi dapat membantu memulihkan luka emosional dan membangun kembali kepercayaan diri. 

Selain itu, membatasi diri dari perilaku mencari-cari penjelasan di luar diri, seperti memeriksa media sosial pelaku, dapat membantu mempercepat proses penyembuhan.

Kesimpulannya, Ghosting merupakan gejala dari budaya hubungan yang menghindari konfrontasi dan seringkali menempatkan kenyamanan pribadi di atas kesehatan emosional orang lain. 

Untuk mengatasi fenomena ini, dapat dilakukan dengan mengembalikan budaya komunikasi yang jujur dan berani menjadi langkah penting agar hubungan, dalam bentuk apapun, tidak menjadi ruang yang menyakitkan.

(*)
Advertisement
close