langgampos.net - Dalam kajian sains modern, prediksi kepunahan manusia kembali mencuat sebagai topik penting yang kaya keyword isu perubahan iklim, kepunahan massal, dan evolusi spesies.
Para ilmuwan menyebut pemanasan global bisa mendorong hilangnya keanekaragaman hayati secara besar-besaran, mengikuti pola yang pernah terjadi pada masa prasejarah, sehingga memunculkan kekhawatiran baru mengenai masa depan kehidupan di Bumi.
“Kejadian pemanasan yang terjadi di masa lalu kerap memicu hilangnya keanekaragaman hayati secara besar-besaran, itu sebabnya ada kekhawatiran serius soal perubahan iklim antropogenik,” kata paleobiolog di Oxford University, Erin Saupe, dikutip dari Discover Wildlife, Kamis (11/12/2025). Pernyataan ini menjadi dasar analisis ilmiah tentang bagaimana pemanasan global antropogenik dapat mempengaruhi organisme besar termasuk manusia.
Dalam penelitian evolusioner, peningkatan suhu masa lalu terbukti mempengaruhi kelompok organisme secara berbeda. Spesies dengan jangkauan geografis kecil disebut memiliki risiko kepunahan lebih tinggi akibat ketidakmampuan beradaptasi terhadap perubahan cepat.
“Kejadian pemanasan yang terjadi di masa lalu kerap memicu hilangnya keanekaragaman hayati secara besar-besaran, itu sebabnya ada kekhawatiran serius soal perubahan iklim antropogenik,” kata paleobiolog di Oxford University, Erin Saupe, dikutip dari Discover Wildlife, Kamis (11/12/2025). Pernyataan ini menjadi dasar analisis ilmiah tentang bagaimana pemanasan global antropogenik dapat mempengaruhi organisme besar termasuk manusia.
Dalam penelitian evolusioner, peningkatan suhu masa lalu terbukti mempengaruhi kelompok organisme secara berbeda. Spesies dengan jangkauan geografis kecil disebut memiliki risiko kepunahan lebih tinggi akibat ketidakmampuan beradaptasi terhadap perubahan cepat.
Fenomena ini konsisten dengan sejarah kepunahan massal yang pernah menghapus berbagai spesies besar di muka Bumi. Contoh klasiknya adalah peristiwa Cretaceous yang memusnahkan dinosaurus non-unggas, memberi peluang bagi spesies kecil untuk berkembang dan mendominasi ekosistem.
Menurut rekam jejak sains evolusi, hewan kecil memang memiliki keuntungan adaptif. Ukuran tubuh yang ringkas, kebutuhan energi kecil, serta kemampuan berkembang biak lebih cepat membuat mereka lebih siap menghadapi perubahan lingkungan ekstrem. Proses seleksi alam akan kembali bekerja saat satu spesies punah dan memberi ruang kosong dalam ekologi global. Ruang ini kemudian dimanfaatkan oleh spesies yang mampu bertahan.
“Spesies baru yang muncul berasal dari spesies yang selamat dari kepunahan massal,” jelas ahli biologi Washington University, Jonathan Losos. Konsep ini mempertegas bahwa masa depan keanekaragaman hayati ditentukan oleh spesies paling adaptif, bukan yang paling besar atau paling dominan saat ini.
Losos menambahkan bahwa belum ada metode pasti untuk menentukan spesies apa yang akan mendominasi Bumi jika manusia punah. Namun, ia memberi gambaran berdasarkan spesies yang sudah berevolusi berdampingan dengan manusia selama ribuan tahun.
Menurut rekam jejak sains evolusi, hewan kecil memang memiliki keuntungan adaptif. Ukuran tubuh yang ringkas, kebutuhan energi kecil, serta kemampuan berkembang biak lebih cepat membuat mereka lebih siap menghadapi perubahan lingkungan ekstrem. Proses seleksi alam akan kembali bekerja saat satu spesies punah dan memberi ruang kosong dalam ekologi global. Ruang ini kemudian dimanfaatkan oleh spesies yang mampu bertahan.
“Spesies baru yang muncul berasal dari spesies yang selamat dari kepunahan massal,” jelas ahli biologi Washington University, Jonathan Losos. Konsep ini mempertegas bahwa masa depan keanekaragaman hayati ditentukan oleh spesies paling adaptif, bukan yang paling besar atau paling dominan saat ini.
Losos menambahkan bahwa belum ada metode pasti untuk menentukan spesies apa yang akan mendominasi Bumi jika manusia punah. Namun, ia memberi gambaran berdasarkan spesies yang sudah berevolusi berdampingan dengan manusia selama ribuan tahun.
Menurutnya, hewan seperti kucing, tikus, kecoa, hingga merpati memiliki peluang besar untuk bertahan dan terus berevolusi mengisi kekosongan ekologis yang ditinggalkan manusia.
Kucing, misalnya, diprediksi bisa mencapai populasi hingga 1 miliar ekor di seluruh dunia. Dalam skenario evolusi masa depan, kucing domestik berpotensi muncul dengan karakter fisik menyerupai singa atau harimau akibat perubahan tekanan seleksi dan lingkungan yang sangat berbeda.
“Mungkin kucing bertaring tajam akan berevolusi lagi dan cara hidup yang baru belum pernah terlihat sebelumnya, seperti kucing berang-berang air atau kucing peluncur,” kata Losos. Gagasan ini menggambarkan kemungkinan lahirnya spesies felin baru yang mengisi niche ekologis unik di masa depan, menciptakan wajah baru biodiversitas Bumi pasca-kepunahan besar.
Kucing, misalnya, diprediksi bisa mencapai populasi hingga 1 miliar ekor di seluruh dunia. Dalam skenario evolusi masa depan, kucing domestik berpotensi muncul dengan karakter fisik menyerupai singa atau harimau akibat perubahan tekanan seleksi dan lingkungan yang sangat berbeda.
“Mungkin kucing bertaring tajam akan berevolusi lagi dan cara hidup yang baru belum pernah terlihat sebelumnya, seperti kucing berang-berang air atau kucing peluncur,” kata Losos. Gagasan ini menggambarkan kemungkinan lahirnya spesies felin baru yang mengisi niche ekologis unik di masa depan, menciptakan wajah baru biodiversitas Bumi pasca-kepunahan besar.
(*)

