LANGGAMPOST.NET - Perang Bani Quraizhah adalah kelanjutan dari drama besar Perang Khandaq. Setelah pasukan Ahzab gagal menaklukkan Madinah, Rasulullah ﷺ segera mengarahkan perhatian pada Bani Quraizhah, kaum Yahudi yang mengkhianati perjanjian dengan kaum Muslimin di saat genting.
Padahal sebelumnya, Bani Quraizhah terikat perjanjian damai dengan Rasulullah. Tapi Huyay bin Akhtab, tokoh Yahudi dari Bani Nadhir, berhasil membujuk mereka untuk berkhianat. Mereka menyiapkan pasukan untuk menikam kaum Muslim dari dalam. Namun, rencana itu gagal total. Allah menurunkan ketakutan ke dalam hati mereka, dan pasukan gabungan pun pulang dengan tangan hampa.
Setelah Perang Khandaq usai, Rasulullah langsung memimpin pasukan menuju Bani Quraizhah. Seruan beliau menggema: “Jangan ada yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” Para sahabat bergerak cepat. Ini bukan sekadar perintah militer, tapi ujian ketaatan.
Pengepungan berlangsung sepuluh hari lebih. Akhirnya, mereka menyerah dan pasrah pada keputusan Nabi ﷺ. Untuk menjaga keadilan, keputusan diserahkan pada Sa’ad bin Mu’adz, pemimpin Aus. Putusannya tegas: para prajurit dieksekusi, keluarga mereka ditawan, dan harta dibagikan. Rasulullah menyebut keputusan itu sesuai hukum Allah dari atas langit ketujuh.
Kisah Abu Lubabah juga menjadi catatan penting. Ia sempat memberi isyarat yang membocorkan rencana Nabi ﷺ. Menyesal berat, ia mengikat diri di masjid hingga Allah menerima taubatnya. Ini menjadi pengingat keras bahwa amanat tidak boleh dikhianati, sekecil apa pun.
Apa Hikmahnya?
Pertama, perang ini menegaskan bahwa pengkhianatan terhadap perjanjian adalah dosa besar yang berakibat fatal. Kedua, kisah para sahabat yang berbeda pendapat soal waktu shalat menunjukkan bahwa perbedaan dalam ijtihad tidak harus memecah belah, justru dihargai bila niatnya mencari kebenaran. Ketiga, ketaatan total pada Rasul adalah kunci kemenangan umat.
Perang Bani Quraizhah bukan sekadar kisah perang. Ia adalah pelajaran sejarah tentang kejujuran, kesetiaan, taubat, dan pentingnya kepatuhan pada pemimpin yang adil. Dalam konteks kekinian, kisah ini mengajarkan bahwa prinsip dan komitmen tidak bisa dinegosiasikan, terutama saat nilai-nilai keimanan dipertaruhkan.
(*)