LANGGAMPOS.NET - Musibah tak pernah datang dengan aba-aba. Ia mengetuk pintu hidup tanpa permisi, menyapa dalam bentuk kehilangan, penyakit, kegagalan, bahkan kematian orang tercinta.
Tidak ada manusia yang benar-benar siap. Namun, tidak semua manusia mampu melihat musibah dari sisi yang lebih dalam: sebagai bentuk kasih sayang dan panggilan untuk kembali.
Dalam hiruk-pikuk dunia, manusia mudah sekali terlena. Saat nikmat datang bertubi-tubi, senyum mudah merekah, hati terasa lapang. Kita merasa dunia berpihak. Tapi ketika cobaan datang, tidak sedikit yang goyah. Bertanya, “Kenapa saya?” atau merasa dunia sedang tidak adil.
Padahal, setiap yang terjadi di alam ini adalah bagian dari takdir Allah. Sebagaimana firman-Nya dalam Surah Al-Qamar ayat 49.
“Sesungguhnya segala sesuatu Kami ciptakan dengan takdir.”
Artinya, apa pun yang menimpa kita, baik yang menyenangkan atau menyakitkan, sudah tertulis dan ditentukan. Iman sejati adalah ketika seseorang mampu percaya kepada takdir, baik maupun buruknya. Rasulullah ﷺ juga bersabda bahwa salah satu rukun iman adalah percaya pada takdir Allah, baik maupun buruk.
Lalu, apakah Allah menciptakan keburukan? Iya, tapi bukan untuk dirayakan. Keburukan hadir sebagai ujian, sebagai jalan untuk menggugah kesadaran, menyingkap lapisan ego yang menebal.
Seringkali, kita membenci sesuatu yang justru baik untuk kita. Sebaliknya, kita menginginkan hal yang ternyata buruk bagi kita. Allah berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 216:
“Boleh jadi Anda membenci sesuatu, padahal itu baik bagi Anda; dan boleh jadi Anda menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagi Anda. Allah mengetahui, sedangkan Anda tidak mengetahui.”
Musibah, jika dilihat dari mata iman, adalah bentuk cinta Allah yang terbungkus perih. Ia datang untuk menyadarkan, menguatkan, membersihkan.
Melalui musibah, Allah ingin menghapus dosa, meninggikan derajat, dan mengembalikan kita ke jalan-Nya. Bahkan dalam hadis Qudsi, Allah menjanjikan surga bagi hamba yang mampu bersabar atas wafatnya orang tercinta, dan menerima dengan ikhlas.
Tak sedikit manusia yang lalai saat diberi kelapangan, tapi baru tersadar saat ditimpa musibah. Seperti hujan yang menyuburkan tanah kering, begitu pula musibah yang bisa menyuburkan hati yang mulai gersang dari zikir dan doa.
Rasulullah ﷺ juga bersabda bahwa jika ada tingkatan surga yang belum mampu diraih seorang hamba melalui amal ibadahnya, maka Allah akan memberikan ujian lewat badan, harta, atau anak-anaknya. Lalu, jika ia bersabar, maka akan dicapai pula derajat yang sebelumnya tampak jauh.
Sabar dalam musibah bukan berarti tidak merasa sedih. Tapi tetap bertahan, tetap yakin, dan tetap percaya pada hikmah Allah di balik segalanya. Air mata boleh jatuh, tapi jangan biarkan iman ikut runtuh.
Musibah adalah bentuk komunikasi Allah yang paling jujur. Ia memaksa Anda diam sejenak, menghentikan langkah, dan menoleh ke dalam. Bertanya, “Sudah sejauh apa saya dari-Nya?” Dan dari situlah titik balik bisa dimulai.
Maka, ketika musibah mengetuk pintu hidup Anda, jangan tolak. Bukalah dengan sabar, sambutlah dengan iman. Musibah bukan akhir. Ia adalah panggilan. Jalan pulang bagi jiwa yang terlalu jauh dari cahaya.
(*)